![]() |
| Gb : KODAM IV/DIPONEGORO |
Suatu ketika di mana raga sudah mencapai titik penghabisan, jiwa sudah mencapai titik pengorbanan, dan doa sudah mencapai titik kekhusyukan. Apalah daya Saya hanya siswa yang baru lulus SMA tahun 2015 yang tak bisa berbuat apa-apa tentang gagalnya cita-cita, yang menjadikan Tuhan hanyalah sebagai 'pelicin' untuk Saya jadikan meraih cita-cita duniawi semata. Buruk memang atau bisa dianggap 'bajingan' bahkan apa bedanya dengan mereka yang sempat Saya nistakan. Seperti itulah gamabaran Saya (2015) yang kelam dan rentan.
Sudah hampir 3 tahun sejak terjadinya rasa kekecewaan saya terhadap Tuhan. Tertawa dan taubat adalah rutinitas Saya ketika mengenang peristiwa itu, betapa bodohnya Nurdana Ahmad Fadil (saya) yang mengartikan "Nyawa Sama Harganya dengan Cita-Cita". Tahu sendirilah mental dan pemikiran anak SMA yang sangat dangkal, apa lagi dulu Saya hanya berbekal ilmu Agama yang sangat cetek (ibadah saja sekadar yang wajib) dan pikiran bunuh diri langsung tercipta dalam pikiran Saya, yang bisa digolongkan kaum sumbu pendek.
Berawal cita-cita Saya adalah TNI (kok iso dan ? awakmu lho lemu kok ngunu wkwkwk) mending yang penasaran Saya itu gimana dulunya, bisa chek Facebook Saya yang tertera di tombol About. Kembali ke cita-cita Saya TNI, waktu itu Saya mendaftar Bintara TNI (kalau belum tahu perihal pangkat di TNI Googling aja deh). Perjuangan Saya untuk mendapat impian itu pun gak semudah membalikan telapak tangan, waktu itu awal kelas 12 bobot Saya 80Kg-an dan setelah olahraga mati-matian dan juga diet ketat sampai tembus 67Kg bayangkan dalam proses itu saya sampai dipanggi di ruangan BK dan ditanyain kenapa Saya bisa sampai sekurus itu, disangkanya saya konsumsi narkoba makanya sampai BK turun tangan, untung waktu itu Saya didampingi Doi (dulu Saya punya pacar loh ya) bisa menjelaskan kenapa Saya bisa sekurus ini.
Waktu pendaftaran pun telah tiba Saya yang berbekal rasa percaya diri yang tinggi karena waktu itu Ibu saya sudah melobi orang dalam (tahu sendirilah masalah ini) dan juga sudah siap fisik serta mental. Kenyataan memang pahit Saya gagal saat Pantukhir (semacam tes paling akhir di mana semua tahap telah lolos). Bayangkan betapa terpuruknya Saya waktu itu, langsung Saya telfon Orang tua dan berkata dengan tegas "Dana diterima TNI bukan di tahun 2015" sambil menyembunyikan air mata yang mengucur deras bak bendungan jebol oleh air. Langsung Saya tancap gas pulang ke rumah Budhe (tes dan segala macamnya terletak di Ungaran dan kebetulan Saya punya Budhe di daerah Ungaran), sampai rumahnya pun Saya dibanjiri pernyataan dari seisi rumah yang sangat menyakitkan yaitu "gimana Dan ? Lolos gak ?" Jawaban sama yang keluar dari mulut Saya "Dana diterima TNI bukan di tahun 2015" dan kata-kata motivasi pun membanjiri telinga Saya yang cukup ku dengarkan tanpa diterapkan.
Perjalanan pulang dari Ungaran ke Pemalang pun dimulai dengan diawali pamitan dengan seisi rumah dan mulai mengendarai Supra X 125 yang penuh kenangan itu. Di perjalanan yang sulit karena Saya hanya membawa 'tangan kosong' yang sejatinya oleh-oleh yang dibawa adalah sebuah impian. Tak terlalu lama dari rumah Budhe Saya melintasi tempat di mana sampai sekarang pun ketika saya melewati tempat itu pasti hati saya berdegup kencang dan reflek tangan saya bergerak ke arah kepala sambil menirukan sikap hormat, tempat itu adalah KODAM IV/DIPONEGORO. Bodoh memang sudah tercabik-cabik oleh impian sendiri tapi masih ingin meraihnya.
Di tengah perjalanan menuju kota kecil yang bernama Pemalang (sudah sampai Pantura waktu itu), sambil menampung segala macam kekecewaan tiba-tiba pikiran Saya kosong, padahal motor masih melaju kencang di atas 70Km/J dan sempat sadar kembali, di saat sadar tersebut saya lupa apa saja yang tadi Saya lewati dan bunuh diri langsung melintasi benak Saya. Kebetulan di depan ada truk muatan besar yang melintas dan sumbu pendek ini pun langsung mengarah ke kepala truk tersebut dan bak seperti ada malaikat yang membisikan kebaikan saya langsung banting stir ke kiri dan mengerem mendadak di samping trotoar jalan.
Menangis adalah hal pertama yang saya lakukan, kendati menangis saya niatkan untuk melanjutkan perjalanan walau tidak terlalu kencang untuk sekadar mencari mini market untuk beristirahat menenangkan pikiran ini, sampailah di mini market saya langsung membuka gawai dan menelfon Orang tua tapi kali ini Saya apa adanya di mana tak ragu lagi Saya berkata sesenggukan (khas orang nangis tapi ngotot mau ngomong) dan di situ Saya cerita apa adanya ke Orang tua Saya, lega, puas, dan malu bercampur aduk dalam percakapan itu, sampai hati dan pikiran ini merasa lega karena semuanya sudah tercurahkan kepada Orang tua Saya. Perjalanan pun Saya lanjutkan dengan sangat perlahan dan sampailah Saya di rumah tercinta.
Berpelukan adalah hal pertama ketika Saya bertemu kedua Orang tua yang senantiasa mencemaskan kabar anaknya yang hampir bunuh diri. Air mata meleleh ke pundak Ayah dan Ibu dan tanpa kusadari mereka pun melakukan hal serupa yaitu menangis melihat anak pertama merka yang gagal meraih impiannya. Beban yang sudah hilang dan kekecewaan yang masih bebal menghantui pikiran ini, Saya sanggupkan menceritakan semua kekecewaan Saya ini kepada kedua Orang tua yang senantiasa mendengarkan dan terkadang meneteskan air mata juga.
Yogyakarta adalah tempat saya menuliskan cerita ini, panjang perjalanannya kenapa bisa sampai di kota pelajar ini. Demikian cerita Saya yang tolol ini semoga menginspirasi kalian semua bahwa "Nyawa Sama Harganya dengan Cita-Cita" adalah sebuah pemikiran orang goblok.
Sumber gambar : id.wikipedia.org

Comments
Post a Comment